Selasa, 15 April 2014



Setiap Negara yang maju, memiliki mutu pendidikan yang baik. Masa depan suatu bangsa ditentukan oleh mutu pendidikan, karena melalui pendidikan inilah akan tercipta generasi-generasi penerus bangsa yang berkarakter, berkepribadian luhur, cerdas, dan bertanggung jawab. Pendidikan merupakan dasar dan kunci utama bagi kemajuan suatu bangsa. Karena bangsa yang maju bukanlah bangsa yang memiliki pendapatan nasional yang tinggi, bukan bangsa yang memiliki kekuatan militer yang tidak terkalahkan,  bukan pula bangsa yang pesat dalam hal kemajuan teknologi, akan tetapi  bangsa yang penduduknya berkarakter. Pendapatan nasional, kekuatan militer dan pertahanan nasional yang kuat, atau bahkan kemajuan teknologi tentu akan terwujud jika suatu bangsa memiliki penduduk yang berkarakter. Karakter penduduk inilah yang dibina dari pendidikan yang bermutu, berkualitas, dan relevan. Pendidikan yang benar-benar berorientasi pada tujuan pendidikan. Lalu bagaimana dengan pendidikan di Indonesia? Jika kita telaah lebih lanjut, tujuan pendidikan Indonesia begitu mulia. Seperti yang tertuang dalam pasal 3 UU No 20 tahun 2003 bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Namun pada kenyataannya, apakah bangsa ini telah mencapai tujuan pendidikannya? Apakah telah terbentuk watak dan kepribadian bangsa yang luhur, sudahkah masyarakat beriman dan bertakqwa kepada Tuhan, demokratis dan bertanggung jawab?
Rasanya memang belum,, bangsa ini masih jauh dari tujuan pendikannya. Kenyataannya  masih adanya diskriminasi pendidikan, mahalnya biaya pendidikan, belum semua sekolah memiliki kualitas pembelajaran yang baik, dan kualitas pendidik yang cenderung masih kalah dibandingkan negara lain. Ditambah lagi masih banyak generasi calon penerus bangsa kita yang putus sekolah. Mereka tak berkesempatan mengenyam pendidikan, bahkan harus bekerja untuk membantu kebutuhan sehari-hari. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa alasan tak adanya biaya pendidikan adalah penyebab utama putusnya sekolah anak-anak di Indonesia. Berdasarkan data profil anak Indonesia 2012 yang diterbitkan oleh kementrian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak (KPP&PA) yang bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa sekitar 50% rata-rata alasan putus sekolah anak-anak Indonesia dengan usia 7-17 tahun baik di pedesaan maupun perkotaan adalah karena faktor biaya, dan sekitar 10% karena mencari nafkah. Jika terus saja terjadi seperti ini, kapan masyarakat Indonesia akan maju, jauh dari kebodohan, dan membentuk masyarakat yang berkarakter? Pendidikan yang memupuk kepribadian anak, dan meluruskan pola pikir agar menjadi lebih kritis dan kreatif, agaknya tidak dapat dirasakan oleh sebagian besar masyarakat miskin. Masih banyak diluar sana anak-anak usia sekolah yang harus merasakan kerasnya hidup di jalanan, merasakan beratnya mencari sesuap nasi, dan hanya bisa menekan keinginannya bersekolah.
Melihat keadaan pendidikan Indonesia yang seperti ini, terkadang saya geli ketika melihat rakyat yang masih saja menyalahkan pemerintah, dan masih saja geli ketika melihat kinerja pemerintah yang kesannya tak serius menanggapi masalah ini. Bertambah geli lagi, ketika melihat dua pihak ini saling menyalahkan, dan tentunya saling membenarkan diri. Tidak membawa perubahan sedikitpun pada peningkatan mutu pandidikan. Alangkah baiknya jika kedua pihak saling mendukung, pemerintah benar-benar melakukan kewajibannya mengabdi untuk bangsa dan untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi atau golongan, tentu rakyat akan memberikan kepercayaan pada para pemimpinnya. Kenyataannya masih saja mereka para petinggi-petinggi Negara yang mempunyai wewenang, justru menyakiti rakyatnya, menghancurkan negaranya, lupa diri, dan akhir-akhirnya korupsi. Dana untuk peningkatan mutu pendidikan, dan dana untuk memajukan kesejahteraan rakyat pun masuk kantong pribadi. Bagaimana mungkin rakyat memberikan kepercayaannya jika masih saja oknum-oknum ‘nakal’ itu bebas beraksi. Tentunya hal ini akan berpengaruh pula pada usaha peningkatan mutu pendidikan. Tapi bukan suatu yang mustahil terjadi peningkatan mutu pendidikan Indonesia yang signifikan. Semua masih bisa diperbaiki, masih bisa diusahakan, dan masih bisa direncanakan. Bagaimanapun majunya mutu pendidikan di Indonesia, bukanlah sekedar mimpi, dan terbentuknya karakter penduduk Indonesia, bukan pula sekadar harapan. Kita hanya butuh berusaha dan percaya bahwa Indonesia bisa.

0 komentar:

Posting Komentar